Pernikahan Sedarah Hadirkan Beban Psikologis.Ini Solusinya.Mari Belajar Dari Kejadian DI Bulukumba.
Written By
Psikologi Pesona
Wednesday, July 3, 2019
Add Comment
Pertama kali menyaksikan vidio "heboh pernikahan sedarah" di Bulukumba,Sulawesi Selatan ingatan penulis mundur beberapa waktu yang lalu mencoba mengumpulkan kembali beberapa bacaan tentang kejadian serupa.
Fakta yang penulis temukan dijaman dahulu praktik hubungan sedarah dilakukan untuk menjaga kemurnian keturunan.
Misalnya dikalangan elite penguasa Mesir kuno.
Pernikahan sedarah ketika itu lazim dilakukan di kalangan kerajaan karena Para Firaun percaya mereka adalah keturunan para dewa.
Namun di masa kini pernikahan sedarah dipandang tidak pantas
Meski tidak pantas namun ada saja orang - orang yang buta hati mungkin juga "buta mata " asal kebas.Mau itu saudara,paman,keponakan pokoknya "tancap gas'
Vidio diatas salah satu contoh pernikahan sedarah dan dikutip dari Tribunnews.com kedua kakak dan adik yang melakukan pernikahan sedarah ini telah mendapat penolakan dari keluarga.
Lebih lanjut Mustamin ayah pasangan ini agar kedua buah hatinya dijatuhi hukuman setimpal.
"Saya Tidak Mau melihat kedua anak itu. Jika hukum adat bisa dilakukan kedua anak ini akan di labu (Ditengelamkan ke laut dengan cara dimasukan ke karung)"
Respon yang muncul dari hati yang terluka berpadu malu karena aib yang terjadi.
Itulah konsekuensi dari pernikahan sedarah.
Rasa malu akibat kejadian ini bisa memunculkan kerumitan lain, diantaranya orang yang terpapar kejadian ini dapat menarik diri dari lingkungan sosial.
Lebih parahnya bisa saja mengalami depresi dan gangguan mental lainnya.
Dampak dari pernikahan sedarah akan menyebabkan kondisi cacat serius, kematian dini dan penyakit mental bagi keturunan mereka.
Dikutip dari Liputan6.com seorang psikolog evolusi dari universitas Hawai mengatakan bahwa "Kerabat dekat secara genetik memiliki resiko memiliki keturunan dengan peluang hidup yang kecil"
Tragis dan itu faktanya.
Beban Psikolologis
Fakta lain yang tidak dapat dihindari adalah munculnya beban psikologis pasangan ini.
Mendapatkan perlakuan yang berbeda dari masyarakat menjadi ancaman jika kedua kakak dan adik ini masih mempertahankan pernikahan sedarah.
Dan jika pernikahan ini bubar,cerita tentang pernikahan sedarah ini tetap segar dalam ingatan dan tajam dalam dunia pergosipan
Dan pada akhirnya
Terbuka peluang yang lebih besar dari masing - masing individu yang terlibat pernikahan sedarah ini menjadi stress,depresi dan bisa saja berujung percobaan bunuh diri atau malah mengakhiri hidup karena beban psikologis ini.
Selain itu, kelak jika keturunan mereka hadir, maka dalam perjalanan waktu anak - anak mereka bisa mendapatkan bullying dari orang sekitar, termasuk kawan- kawannya.
Baca Juga:Dampak Bullying Lebih Kejam Dari bahaya Kekerasan Anak.Bagaimana Pengaruhnya Pada Psikologi Anak Dan Apa solusinya.
Inilah hidup dan semua yang kita lakukan ada konsekuensinya.
Solusi
Kejadian pernikahan sedarah di Bulukumba, sulawesi Selatan menjadi pelajaran bagi kita semua. Penulis menawarkan solusi untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Fokus Pada Peran Keluarga.
Sejak dini anak diberikan perhatian penuh dan diajarkan kebebasan yang bertanggung jawab, sehingga dapat mencegah pernikahan sedarah.
selain itu
Orang tua juga diharapkan mampu menunjukan kedekatan emosional, dengan harapan anak mengenal emosi dan menunjukan emosinya secara tepat.
Contoh konkrit lain jika anak telah memasuki usia akil balik walau mereka bersaudara, memisahkan pakian,tempat tidur memberi penegasan bagi anak laki - laki anda untuk tidak masuk sembarang ke kamar saudarinya bisa menjadi solusi mencegah incest.
Sosialisasi Kepada Masyarakat
Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dampak dari pernikahan sedarah dengan melibatkan berbagai pihak seperti tenaga medis, tokoh agama maupun professional lainnya merupakan keharusan.
Pengetahuan yang terbatas terkait dampak kesehatan dan beban psikologis membuat masyarakat bisa saja melakukan pernikahan sedarah
0 Response to "Pernikahan Sedarah Hadirkan Beban Psikologis.Ini Solusinya.Mari Belajar Dari Kejadian DI Bulukumba."
Post a Comment